Ternate, Jurnas.com – Perubahan kurikulum dari Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka dirasakan positif oleh Andina Rahma Sarita, siswi kelas X SMA Negeri 4 Kota Ternate. Menurut dia, kurikulum anyar ini membuatnya lebih bahagia saat menjalani pembelajaran di dalam kelas.
Menurut Andina, sebelumnya pembelajaran di kelas terkesan pasif dan kurang paritispatif. Guru memberikan penjelasan, sementara murid hanya mendengarkan. Namun, kondisi itu berubah setelah SMAN 4 Kota Ternate menerapkan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).
“Dulu, hanya diberikan penjelasan saja. Sekarang, kami dipraktikkan bagaimana implementasi pelajaran ke kehidupan kami sehari-hari. Tidak hanya mendengar penjelasan, tapi juga lewat gambar dan video,” kata Andina di sela-sela Press Tour Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) di Kota Ternate, Maluku Utara pada Kamis (27/4).
Andina memberikan contoh, sebelum memulai pelajaran, guru biasanya membagikan tautan yang berisi isian minat dan bakat. Hal ini bertujuan mengenali metode belajar yang disukai oleh masing-masing peserta didik.
Tidak seluruh siswa seragam dalam memilih metode belajar. Andina mengatakan, di kelasnya terdapat empat kelompok, yakni kelompok audio, kelompok visual, kelompok audio-visual, dan kelompok kinestetik.
Masing-masing kelompok, lanjut Andina, lalu mengumpulkan tugas berdasarkan kelompok metode belajarnya. Kelompok visual berupa catatan atau gambar, kelompok audio mempresentasikan langsung di depan kelas, dan kelompok audio-visual membuat video yang dikirimkan langsung ke guru dan presentasi di depan kelas.
“Sehingga, kami para siswa nyaman dan bisa menguasai materi dengan satu metode,” tutur dia.
Nurida Wahab, guru penggerak sekaligus Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 4 Kota Ternate, menyebut ini sebagai bagian dari pembelajaran berdiferensiasi, yang bertujuan untuk memetakan minat dan bakat peserta didik.
Selain pengelompokan metode belajar, Nurida juga biasanya membagi siswa sesuai dengan kemampuannya. Dalam mata pelajaran matematika, misalnya, dia membuat kelompok siswa dengan kemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
“Yang high (tinggi) saya berikan masalah atau soal dengan penyelesaian open minded. Yang medium saya beri soal dan ada petunjuknya. Yang low saya berikan soal dengan semua penyelesaiannya. Mereka tinggal menjelaskan prosesnya seperti apa,” tutup Nurida.
Sumber: Jurnas