Keberadaan
Masjid Kasultan Bacan ini sudah melalui satu abad. Masjid ini dibangun saat
Belanda menjalankan usaha ekonomi dan upaya politik di negeri ini. Masjid ini berada Desa Amasing Kota, Bacan, Halmahera
Selatan. Bangunannya berada tak jauh dari Keraton Kesultanan Bacan dan jembatan
batu Bacan yang ikonik. Masjid ini berada di antara permukiman penduduk.
Warna temboknya putih bersih dengan atap seng
dan kubah berbentuk limas bertuliskan kaligrafi huruf Arab. Atap masjid ini
hampir mirip seperti atap tumpang di masjid-masjid bersejarah Pulau Jawa. Aksen
hijau dan kuning terdapat di pinggiran pagar dan kosen.
“Aslinya atap dan dinding terbuat dari seng yang tinggi dan berat. Pondasinya dari campuran karang laut, kapur, dan pasir,” kata Ketua Pengurus Masjid Kesultanan Bacan, Ibnu Tufail, di serambi masjid, Senin (4/3/2019). Masjid ini dibangun tahun 1901. Konstruksi penyangga yang asli terbuat dari kayu besi dan kayu bufasa (Vitex cofassus) yang dilapisi oleh campuran karang laut dan kapur. Dulu, empat tiang penyangga yang tebal ini disebut sebagai kakbah oleh masyarakat setempat.
Namun karena perkembangan zaman, masjid ini harus direnovasi. Atapnya yang berbentuk limas pernah diganti dengan kubah bundar pada era ’60-an. Kemudian pada 2001, yakni tepat 100 tahun usia masjid ini, bentuk atap masjidnya dikembalikan menjadi limas seperti aslinya.
Kini semua dinding masjid berbahan tembok. Di dalam, ada mimbar berukiran gaya Jawa. Meski secara material, masjid ini sudah tidak mempertahankan bahan dari tahun 1901, namun bentuk arsitekturnya sengaja tidak diubah dari bentuk aslinya.
Tufail yang juga Ompu Juru Tulis Raa (Sekretaris Kesultanan Bacan) menjelaskan, pembangunan masjid ini berkaitan dengan kehadiran perusahaan Belanda bernama Batjan Archipel Maatschappij (BAM) sejak 1881 yang diberi kontrak 75 tahun. Perusahaan perkebunan itu menyewa lahan Kesultanan Bacan.
Sultan Bacan pada masa itu kemudian mengadakan komunikasi dengan pihak Belanda agar dibantu mendirikan bangunan. Maka didapatkanlah seorang pria asal Argentina berkebangsaan Jerman yang merancang pembangunan masjid tahun 1901.
“Arsiteknya orang Argentina berkebangsaan Jerman, Nyong Carell Knepper,” kata Tufail. Kini masjid ini punya total lahan seluas 4.800 meter persegi dengan luas bangunan 642 meter persegi. Masjid ini mampu menampung 200 jemaah. Di dalam masjid juga ada kolam wudu peninggalan masa lalu. Bak ini berisi 24 keran yang menyalurkan aliran mata air. Kolam wudu ini dikeramatkan oleh masyarakat dengan cara menjadikannya sebagai tempat mencari berkah, menyembuhkan penyakit, dan meminta keturunan. Terdapat koin-koin uang di dasar kolam, sisa para pengunjung yang mencari keberuntungan sesuai keyakinan masing-masing.
Ada
pula makam raja-raja dan ulama di bagian belakang masjid. Raja yang dimakamkan
di sini adalah Sultan Muhammad Sadiq Syah (1862-1889) dan Sultan Muhammad Usman
Syah bin Muhammad Sadiq (1899-1935). Sultan Muhammad Usman Syah kini namanya
diabadikan sebagai nama Bandara Oesman Sadik. Sultan Usman Syah adalah orang
yang menentukan arah kiblat dengan akurat. Menurut legenda, dia menentukan
kiblat dengan teropong bilah bambu yang dia gunakan untuk membidik arah Kakbah
di Mekkah. Ada pula makam keramat yang dipercaya muncul dengan sendiri. Makam
keramat seperti ini disebut orang kawasan Maluku Utara sebagai jeret.
Kembali ke BAM, perusahaan perkebunan Belanda
itu juga mendirikan bangunan sebagai kantor di kawasan Labuha, warga
menyebutnya sebagai Gedung Putih atau Rumah Putih. Letaknya di tengah hutan
kota pepohonan karet peninggalan BAM.
Kini, gedung putih itu juga sudah mengalami
pemugaran namun tetap mempertahankan bentuk aslinya. Di dalamnya tersimpan dua
meriam peninggalan zaman Belanda. Gedung Putih kini menjadi kantor Dinas
Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Halmahera Selatan.
Bangunan-bangunan itu adalah saksi bisu hubungan dagang Kesultanan Bacan dan Belanda. Jogogu (Perdana Menteri) Kesultanan Bacan, Datuk Alolong harmain Iskandar Alam berpendapat Bacan tak pernah dijajah Belanda. Yang ada bukan hubungan penjajahan, namun hubungan kerjasama antara Kesultanan dengan pihakyang ingin mendirikan usaha di teritorial Kesultanan. “Tidak ada Belanda jajah di Bacan, cuma kerja sama saja,” kata Harmain.