Jatuh Bangun dan Solusi Bisnis Pariwisata di Maluku Utara

Pandemi COVID-19 membuat banyak sektor terpuruk, salah satunya pariwisata. Sektor ini membutuhkan pemulihan dengan melibatkan banyak pihak. 

Hal itu mengemuka dalam Forum Grup Diskusi (FGD) yang digelar Duta Kreator Indonesia (DKI) bersama berbagai stakeholder Sabtu (9/1) lalu. Kegiatan ini menghadirkan  pemerintah daerah, komunitas penggerak pariwisata, akademisi  dan media.    

Bertema Gerakan Cepat (Gercep) Gerakan Bersama  (Gerber) dan Gaspoll Pulihkan Pariwisata Maluku Utara dan Lestarikan Hutan ini, mengungkap dan mencari solusi dari persoalan yang dihadapi tersebut.

Kepala Cabang Bank BI  Ternate Jefri Dwi Putra yang ikut hadir dalam FGD di Café Cengkeh Afo Tongole Ternate itu, menyampaikan dukungannya terhadap upaya  mengembalikan kondisi pariwisata di Malut. 

Jefri bilang, gerakan ini  sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia berkolaborasi  untuk pemulihan ekonomi. Pariwisata, kata dia, memiliki kaitan erat soal pemulihan ekonomi bahkan menjadi primadona.

“Pariwisata  adalah  instrumen kita  berkolabarasi. Di awal 2021 ini ada langkah baik  telah digagas. Di sini semua orang punya kepentingan berhubungan dengan hajat hidup orang, jadi tidak mungkin dikelola sendiri. Butuh kolaborasi agar pariwisata tetap hidup,” ungkapnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate Dr Risal Marsaoly mengatakan Ternate adalah kota berkarakter pulau. Ada beberapa keunggulan objek wisata yang jadi daya pikat  wisata. Baik alam sekitar  dan dukungan lainya. Dia melihat, pariwisata ini tantangannya berat. Kolabarasi jadi kata kunci menggerakan pariwisata.

Harapannya dalam mendorong pariwisata butuh kerjasama yang baik. Contohnya di Tongole ini dulu hanya hutan pala serta cengkeh dan belum dilirik. Namun, dengan  konsep ekowisata kawasan ini dikelola menjadi salah satu destinasi wisata yang memikat.

Ia mengaku, saat berkunjung ke Taman Love di Kelurahan Moya Ternate ada  beberapa hal butuh ketegasan. Terutama pemanfaatan ruang. Ada beberapa masalah di sana.  Misalnya perlu dibatasi akses pemukiman baru.

Dia menemukan ada betonisasi di Taman Love. Ke depan perlu mempertegas agar bangunan di kawasan  ekowisata fasilitasnya menggunakan  bambu dan kayu. Di sana orang bisa menikmati pemandangan dari puncak Kota Ternate dengan menikmati udara segar pegunungan. Karena  itu perlu  dijaga  hutannya.      

Dalam hal kebersihan, lanjut dia, juga butuh perhatian. Ini juga masalah sekaligus menjadi tugas pemerintah memaksa pengelola destinasi wisata menerapkan kawasan destinasi wisata yang bersih dengan lingkungan yang baik.

“Ini bagian dari pelayanan  kepada pengunjung. Sekali atau dua kali kita memberi pelayanan kurang baik pengunjung  atau wisatawan akan  berburu destinasi lain. Di Sulamadaha, banyak bantuan fasilitas yang diberikan.  Ke depan Sulamadaha diharapkan kembali bergeliat destinasi  wisata ini,” ungkapnya.

Manfaat Ekosistem untuk Pariwisata

Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung  Asih Yunani dalam kesempatan itu mengatakan, pihaknya juga ikut merehabilitasi beberapa destinasi wisata. Salah satunya menanam mangrove di pantai Sulamadaha Kota Ternate untuk mengamankan pantainya.

“Rencananya, BPDAS- HL melakukan penanaman juga di kawasan wisata Batu Angus. Terutama bibit buah dan bibit kayu,” imbuhnya.   

Cris Samsudin, pengelola destinasi  wisata Cengkeh Afo Ternate mengatakan, bicara pengelolaan destinasi berhubungan dengan tata kelola. Tujuannya agar tercipta sustainable ecoturism. Ini menjadi sesuatu yang wajib dan tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemilik destinasi.

Indonesia timur, kata dia, lebih mengembangkan ekowisata dengan pemberdayaan masyarakat lokal. Itu adalah konsep utama yang harus dilakukan. Kedua, banyak destinasi  wisata kolaps dalam waktu tertentu karena dalam pengelolaan tidak mengikuti prinsip prinsip pengembangan destinasi yang sewajarnya distandarkan.

“Lebih ke pemahanaman tata kelola dan SDM jadi kendala besar. Semua berpikir mencari pengunjung sebesar besarnya, tetapi tata kelola dalam memanggil pengunjung datang itu tidak ada,” cecarnya.

Cris bilang, berdasarkan hasil kajian, 80 persen destinasi wisata itu kolaps karena tanpa tata kelola dan permintaan pasar. Pengembangan pariwisata juga selaras dengan alam di mana detinasi itu  berada. Dalam pengelolaan destinasi wisata, yang pertama  dan menentukan adalah  SDM pengelola. 

Selain itu, Destination Management Organization (DMO) belum berjalan baik. DMO itu terutama struktur tata kelola destinasi pariwisata yang  mencakup perencanaan, koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik.  Melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah. 

Menurut dia, hal itu bertujuan  meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat di  mana destinasi berada.

“Di Malut belum ada badan promosi pariwisata daerah. Padahal BPPD punya peran penting,” kata Cris.

Pentingnya Konsep dan Penguatan Pemasaran

Sementara itu, Beatly Tagulihi dosen pariwisata Universitas  Khairun Ternate mengatakan, DMO menjadi sangat penting karena menyangkut tata kelola pariwista daerah ini. 

“Banyak daerah saya datangi untuk pelatihan pariwisata di Maluku Utara. Ini  cara meningkatkan SDM mereka  mengelola destinasi wisata,” ujar Betly.

Butuh penguatan bagi pengelola destinasi yang ada. Rata-rata wisatawan menginginkan ada sesuatu yang baru. Jika ada penguatan  maka mereka akan menyajikan sesuatu yang lebih menarik bagi wisatawan.

Misalnya, kata dia, membuat konsep yang menarik atau inovasi dengan kolaborasi. Sekarang yang perlu dipikirkan pengelolaan pariwisata  sebelum dan setelah pandemi COVID-19. Terutama dalam hal pelayanan.

Sofyan Ansar dari Generasi Pesona Indonesia (GENPI) Malut menuturkan, sangat perlu forum promosi dan pemasaran pariwisata. Keindahan alam  Malut masih bisa bersaing di tempat lain. 

“Butuh peningkatan kapasitas pengelolaan destinasi wisata,” katanya.

Setelah COVID-19,  kampanye sadar wisata juga penting. Ambil contoh di Bali. Ada Kelompok Sadar Wisata   (POKDARWIS).  Malut  juga minim iven daerah mendorong pariwisata.

Sementara Dosen Arsitek Fakultas Tekhnik Universitas Khairun Mualana Ibrahim   mengangga  ada persoalan yang perlu segera diselesaikan di dalam mengembangakan destinasi wisata di Kota Ternate. Yakni berhubungan dengan dokumen Tata Ruang. Terutama dokumen RTRW dan dokumen Rencana Induk Pariwisata (RIPDA).

“Sederhana saja rumah dan permukman di Ternate,  harus dibatasi area terbangunnya.  Batasnya sampai di mana.  Perlu dibuat batasan yang jelas, lalu masyarakat  diedukasi agar tidak merusak alam. Tujuannya tidak ada lagi masalah seperti  terjadi di Taman Love Puncak Moya saat ini. Dari sisi arsitektur jadi masalah baru. Ketika jalan terbuka Moya Buku Bendera lahan kavling mulai ramai dijual. Jadi perlu ada aturan yang mengatur. 

Abdul Gani dari LSM Gerbang Desa, Tomolou Tidore bercerita  soal fokus mereka dengan  sampah di Kelurahan Tomolou. Dalam  dua tahun ini  aksi nyata mereka menggerakan  penanganan  sampah berbasis masyarakat.

Ada 512  ton sampah diangkut dalam  tahun 2019 2020. Kampung dengan 3200 jiwa 628 rumah itu dalam sebulan menghasilkan  23 ton  sampah. Saat ini mereka  keterbatasan  sarana pengelolaan.  Nanti  pengelolaan sampah  mereka dari  konvensional akan  berbasis online.

Tekait pariwisata  mereka berusaha  mengelola tempat wisata baru di puncak Tomolou.  Festival Tomolou 2020 lalu adalah ending dari mengawali mengelola sampah laut di Kelurahan Tomolou.

“Kami inginkan festival Tomolou yang mengeksplore laut dan membuat  konsep wisata pegunungan  dengan memanfaatkan rumah kebun yang ada bisa menjadi destinasi wisata di Tidore,” katanya.

Irfan Ahmad, dosen Sejarah Universitas Khairun Ternate mengatakan, untuk wisata sejarah yang menjadi kekayaan Ternate sejauh ini  belum dikelola secara baik. Benteng  misalnya, punya kaitan dengan cengkeh afo. Kalau ke cengkeh afo keterkaitannya dengan benteng di dalam kota. Apalagi saat ini  telah diresmikan hari rempah di mana asal mulanya dari Malut.

“Kenapa cegkeh, karena wisata sejarah itu narasinya harus kuat. Wisatawan mengunjungi benteng sekarang ini tidak mendapatkan apa apa. Mereka tak memperoleh  pengetahuan. Datang  mau melihat kejayaan mereka di masa lalu. Karena itu  kita sepakat dulu ke depannya mau dibuat apa.  Belum lagi kekayaan megalitik yang juga banyak di Maluku utara. Perlu pembentukan Pokja pemulihan pariwisata Maluku Utara,” usulnya.     

Abdurahman Soleman pegiat  seni  Malut  yang turut diundang dalam FGD itu mengatakan,  bicara pariwisata  ada hubungannya dengan seni budaya terutama tarian. Saat ini tari yang ditampilkan banyak yang menyimpang. Daya tarik musik etnik berkaitan dengan banyak bangsa.

Ia mengaku, di sini ada aset, tetapi program pemerintah misalnya bantuan ke sanggar  juga tidak jelas. Ada sanggar milik pejabat dan lain lain. Dia bercerita awal 2020 lalu mengumpulkan enam komunitas dan sanggar seni berbeda genre membentuk satu lembaga  berbasis  kebudayaan Moloku Kie Raha. Pihaknya  banyak mengajarkan  tarian asli dimulai dari anak anak.  Ada seni tari, menyanyi lagu daerah, permainan rakyat dan musik tradisional.

Sementara itu, Arief dari Ikatan AHki Geologi Indonesia mengatakan, Ternate ini dibangun di atas gunung api. Geowisata  Ternate punya 28 geo site akan diusulkan ke pusat. Ternate sebagai pulau dengan karakteristik geologi daerah tektonik. 

Terutama batu angus dan pantainya ada hubungan dengan letusan gamalama.   Sementara Malut secara umum, disebut dengan sula sepur atau kereta Sula tak kalah dengan daerah lain soal wisata geologinya.

Ia bilang, luasan karst luar biasa. Di Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata saja  ada 200 goa  karst. 

“Karena itu  jangan latah dalam buat program pariwisata. Seperti jualan pulsa atau bikin kios. Perlu dipikirkan tata kelola ruangnya, penyiapan SDM, perlu ada penyiapan  peramu wisata. Ke depan semua harus dilibatkan.

“Malut tak habis potensi wisata geologinya,  kita juga kalah diregulasi,” jelasnya.

Hudan Irsyadi, dosen budaya Universitas Khairu Ternate menambahkan, bicara pariwisata dan konten lokal telah dipraktekan di Cengkeh Afo. Bahwa pariwsata itu dari pemerintah, masyarakat dan swasta. Ada strategi pengembangan kebudayaan melalui pariwisata. Yakni memanjurkan kearifan lokal dalam pariwisata. 

Direktur Duta Kreator Indonesia Thamrin Ibrahim menutup  FGD dengan beberapa kesimpulan. Perlu pembentukan DMO untuk menyuplai segala bentuk data base  keparawisataan di sebuah destinasi wisata.

“Perlu pembentukan badan promosi wisata daerah yang di SK-kan oleh gubernur yang merupakan gabungan dari berbagai unsur. Malut butuh meeting tourism serta Pokja percepatan pemulihan pariwisata Maluku Utara,” pungkas Thamrin.

Sumber: Cermat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *