Cerita Penjual Sagu di Kepulauan Sula, Maluku Utara, Saat Pandemi COVID-19

Sagu tidak sekadar pangan lokal, bagi Muhammad Naipon, lelaki 32 tahun itu, sagu adalah identitas dan amanah meneruskan perjuangan almarhum sang ayah, Ali Naipon, yang puluhan tahun berdagang sagu meski tanpa untung.  

Berkaca dari semangat sang ayah membuat Muhammad Naipon, anak pertama dari enam bersaudara di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara itu tak patah arang. Meski di tengah pandemi COVID-19 membuat banyak pedagang kesulitan.  

Semenjak sang ayah meninggal pada awal tahun 2020, ia sudah bertekad untuk tetap melanjutkan usaha yang sudah dilakukan oleh almarhum Ali Naipon sejak puluhan tahun itu.  

Naipon cilik ini bercerita, sejak tahun 2000-an tak sedikit pemilik Sagu di Kepulauan Sula yang tidak lagi mengurus kebun sagu mereka. Melihat hal tersebut, alumni STAIN Babusalam Sula itu tak tinggal diam. 

Dengan semangat, ia pun memanfaatkan alat produksi modern–menyiapkan mesin sensor, mesin parut, dan mesin alkon hingga membuat kelompok kerja.  

“Setelah semuanya siap, kami pun mendatangi pemilik kebun sagu, menawarkan jasa untuk mengelola pohon sagu menjadi pangan untuk bisa dijual,” ungkap Muhammad Naipon, beberapa hari lalu. 

Satu pohon Sagu yang dikelola bisa menghasilkan sebanyak 7 hingga 10 tumang. “Kalau misalnya 7 tumang, akan dibagi tiga, yakni pemilik Sagu sebanyak 2 tumang, 3 tumang untuk tenaga kerja yang mengolahnya, dan 2 tumang untuk saya,” Kata Muhammad Naipon. 

Biasanya, dari hasil pembagian itu, Muhammad langsung membelinya dengan harga Rp 95 ribu pertumang. Harga pasaran yang sering dijual sebesar Rp115 ribu pertumang, dari nilai itu sudah termasuk dengan biaya transportasi. 

Saat pandemi COVID-19, usahanya ini pun terdampak. Sebelum pandemi, biasanya terjual 20 tumang magu perhari. Setelah adanya pandemi, yang terjual dari pagi sampai sore paling banyak 5 tumang sagu. 

Muhammad bilang, usaha sagu yang dia lakukan saat ini sudah sejak 2006 bersama sang ayah, hingga sekarang. Walaupun pendapatannya tidak seberapa, tetapi dia tidak pernah untuk putus asa.  

“Jika putus asa, maka sudah pasti pohon-pohon sagu yang ada di kepulauan Sula sudah tidak terurus,” tegasnya.        

Sekarang ada empat tempat pengelolaan sagu yang sedang mereka kerjakan, yaitu di Desa Pohea, Kecamatan Sanana Utara, Desa Kabau Pantai, Kecamatan Sulabesi Barat dua tempat, dan Desa Umaloya, Kecamatan Sanana. “Empat tempat itu jumlah karyawannya sebanyak 12 orang, jadi akan dibagi satu tempat 3 orang pekerja,”bebernya.  

Muhammad Naipon bersemangat, katanya, sagu sebagai pangan lokal ini tetap menjadi andalan orang Sula sebab, 90 persen, katanya, warga di sini masih makan sagu. “Sebab, sebelumnya, setiap kali dibawa ke pasar, tak butuh waktu lama (sagu) langsung habis dibeli,” katanya. 

 Dari usahnya itu, setidaknya Muhammad Naipon bisa meneruskan adik-adiknya sekolah.   

“Dari penghasilan itu saya bisa membantu menyekolahkan kedua adik saya, adik yang ke empat sekarang sekolah di pondok pesantren Tomboro, Surayaba, dan adik kelima sekarang di SMK Pelayaran di Ambon,” ungkapnya.  

Dalam bulan Ramadhan ini, Muhammad sudah berhasil menjual sagu sebanyak 250 tumang. Selain menjual di pasar, dia memanfaatkan media sosial untuk melancarkan usahanya itu.  

“Di saat wabah yang sekarang sedang kita hadapi ini, saya memanfaatkan media sosial untuk menjual sagu. Kalau ada yang minta, kami bisa langsung antar ke rumah mereka”.

Sumber: Kumparan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *