Di Pulau Madapolo ini, nelayan merasa Bahan Bakar Minyak (BBM) terlalu mahal. Sebabnya, pengecer di sini harus membeli dari pihak kedua karena tidak boleh membeli langsung ke SPBU di Ibu Kota Kabupaten dalam jumlah besar.
Saat siang hari terik, Suharlan (41) membawa satu jeriken dari pangkalan bensin eceran di pojok desa. Dia membeli bensin dengan cara utang ke pemilik pangkalan. Pilihan ini harus Suharlan ambil karena dia harus melaut malam ini demi mencukupi kebutuhan keluarga. “Kami nelayan ini kan tidak mungkin setiap hari dapat hasil. Kadang satu minggu dua kali atau tiga kali saja dapat hasil. Tapi kami harus beli BBM yang mahal. Ini jadi kendala kami,” kata Suharlan.
Dia dan warga di Madapolo membeli bensin Rp 12 ribu per liter atau solar Rp 10 ribu per liter. Padahal di Ibu Kota Kabupaten, Labuha, seliter bensin harganya Rp 7 ribu dan solar Rp 9 ribu.
“Kami dari nelayan berharap harga minyak diperkecil lah supaya sedikit murah,” kata Suharlan. Pemilik pangkalan ‘Satu Putri’, Nasrun Haji Hasan (50) tak bisa berbuat banyak. Dia harus menjual BBM dengan harga tinggi ke nelayan karena dia membeli bukan dari SPBU langsung, melainkan dari pihak kedua. Dia tak bisa membeli dari SPBU karena hanya memiliki izin sebagai pengecer minyak tanah saja, tak ada pengecer di pulau ini yang punya izin membeli bensin atau solar dari SPBU langsung.
“Kalau boleh, pengecer seperti kami ini tolong diizinkan agar bisa beli di pompa bensin (SPBU) seperti calo-calo itu. Kenapa kami yang dari pulau-pulau ini tidak bisa sementara calo-calo itu bisa membeli di pompa bensin?” keluh Nasrun.
Harga seliter bensin di SPBU sebesar Rp 7 ribu, pihak kedua menjual ke pengecer Rp 10 ribu, dan dia menjual Rp 12 ribu ke warga pulau. Dia juga membeli solar dari pengecer Rp 9 ribu dan menjualnya Rp 10 ribu. Minyak tanah dia jual Rp 7 ribu dari yang dia beli di Labuha Rp 4.500,00.
Nelayan tidak bisa langsung pergi ke Labuha yang berada jauh di seberang lautan, yakni Pulau Bacan. Ongkos kapal bakal memberatkan mereka. Maka pengecer seperti Nasrun inilah yang menjadi tumpuan harapan para nelayan.
Di sisi lain, Nasrun dan delapan pengecer minyak tanah berizin di Pulau Madapolo ini juga perlu menghadapi masalah tingginya ongkos kulakan. Nasrun perlu keluar ongkos Rp 1.250.000,00 dua kali sebulan untuk kulakan BBM. Duit itu untuk ongkos minyak kapal dan membayar seorang buruh. Keuntungan bersih dia dapat sekitar Rp 2 juta per bulan.
“Nelayan-nelayan di sini marah kepada saya karena harga BBM mahal. Saya jelaskan, mahal bagaimana Pak? Kita ambil sudah dari tangan kedua!” kata Nasrun.
“Ya ini yang torang (kami) bingung. Masa calo bisa beli di pom bensin tapi torang tidak bisa? Ini ada apa sebenarnya?” imbuh Nasrun. Akhirnya Nasrun, nelayan-nelayan lain, dan pengecer BBM di pulau ini hanya pasrah saja. Mimpi mereka hanya satu: BBM satu harga sama seperti yang dijual di SPBU kawasan Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halmahera Selatan. Kepala Desa, Ahmad Ibrahim Odebesi, menyadari masalah ini. BBM dibutuhkan untuk desa berpenduduk 2.432 jiwa ini. “Harapan kami, harga minyak distabilkan,” kata Ibrahim.